RSS

Nasionalisme Sebagai topeng Politik

cemilan ngoming; 19 Januari 2014
Di susun oleh Zeffi

Menuju pemilu 2014 – melalui berbagai media; parpol-papol menunjukkan ambisi  dalam menunjukkan taji partai masing-masing. Ide-ide kreatif, interaktif, dan persuasif bermunculan guna menarik simpati rakyat, salah satunya membawa iklan ‘nasioalisme’.  Membawa semangat nasionalisme dalam setiap gerakan politik bukanlah suatu hal yang baru dan bersifat “sah-sah” saja. Namun beda perkaranya ketika dihadapkan pada fenomena politik dewasa ini, dimana masyarakat sudah tidak lagi memberikan animo yang positif terhadap segala pergerakan dan kebijakan parpol.
Memang! berkat nasionalisme Indonesia mampu merengkuh kemerdekaannya. Akan tetapi justru karena latar sejarah yang berharga ini, sekiranya perlu dipertanyakan mengenai apakah nasionalisme yang diusung parpol sekarang ini hanyalah topeng politik belaka? Bukan tanpa tujuan, salah satu arahan dari diskusi ini adalah untuk menelaah perjalanan nasionalisme dalam sejarah perjuangan  guna  menalaah dampak buruk dijadikannya nasionalisme  sebagai topeng politik.

1 Nasionalisme Sebelum Kemerdekaan


Nasionallisme  bisa dikatakan  sebagai paham yang tergolong baru. Masuk ke Indonesia di akhir abad 20. Dalam diskusi malam ini sempat pula ditanyakan apakah nasionalisme mengharuskan kita punya wilayah dan rakyat terdahulu? Jika kita telaah, nasionalisme memang tumbuh akan kesadaran/keinginan sekelompok bangsa yang menempati  sejumlah wilayah tertentu. Mengingat rakyat Indonesia pada masa penjajahan, berjuang dengan semangat nasionalisme guna merebut kemerdekaan, salah satunya kemerdekaan atas wilayah yang dijajah oleh Belanda. Berdasarkan hal ini,  menjadi jelas bahwa arah perjuangan nasionalisme adalah untuk memperjuangkan wilayah yang direbut. Artinya bukan pegertian ekspansi seperti konsep kolonialisme.
Dalam sejarahnya, nasionalisme hadir sebagai bentuk kepedulian para kaum terpelejar terhadap situasi ditanah air yang waktu itu masih dijajah Belanda. Ialah Dr. Soetomo beserta kawan-kawan  yang menggagas semangat nasionalis melalui organisasi Boedi Utomo (1908) dan di peringati sebagai hari kebangkitan nasional). Semangat  ini terus berlanjut dikalangan terpelajar yang belajar di luar negeri. Bentuk semangat nasionalis mereka mulai beragam, ada yang mendasari nasionalis dengan bentuk liberalis, sosialis,  religi, komunis, dll.
Sebelum semangat nasionalisme dipahami secaramenyeluruh oleh rakyat Indonesia. Perjuangan Indonesia masih bersifat partikuler.  Kemudian melalui momen sumpah pemuda (28 Oktober 1928) arah perjuangan Indonesia pun mulai terkonsep. Para pejuang tidak lagi hanya memikirkan kemerdekaan untuk tanah kelahirannya saja, namun juga atas nama daerah lain dalam cangkupan wilayah Indonesia. Sekalipun waktu itu belum jelas mengenai - yang mana Indonesia - namun semangat nasionalis tetap berkobar berdasar kesamaan nasib sebagai masyarakat jajahan Belanda yang ingin merebut kemerdekaannya.
Keberagaman paham yang mendasari nasioanalis tetap berlangsung dan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Namun dalam masa perjuangan pengertian nasionalisme mempunyai arah dan tujuan yang  jelas, yakni menyatukan perjuangan yang masih bersifat partikuler guna mewujudkan kemerdekaan yang menyeluruh. Karenanya, walaupun selalu terdapat perbedaan pandangan politik beserta bentuk perjuangan, namun akhirnya kemerdekaan tetap bisa diraih.
Dalam sejarahnya, semangat nasionalis bukan tidak pernah malah sering kali dinodai oleh kepentingan-kepentingan organisasi politik, bahkan sering kali dikatakan bahwa perpecahan politik  juga  dipicu oleh politik adu domba yang dilakukan oleh Belanda. Hal ini dilakukan mengingat Belanda masih menginginkan Indonesia sebagai jajahannya.
Salah satu politik perpecahan antara lain, dengan mengatakan Indonesia sebagai boneka fasisme Jepang. Hal ini di perkuat dengan argumen bahwa Soekarna merupakan antek Jepang.  Argumen ini dibuat berdasarkan fakta  kedekatan Sekarno-Jepang dalam (khususnya) BPUPKI. Juga tidak lupa dengan politik pembentukan RIS dan isi perjanjian Linggarjati (1946), dimana Belanda hanya mengakui  secra de facto kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Namun dengan semangat nasionalis yang tinggi, bangsa Indonesia menolak kebijakan ini.  Ditahun ini pula lah semboyan merdeka 100% (Tan Malaka) santer di gaungkan oleh rakyat Indonesia.

2  Pemilu dan Ketidak Percayaan Rakyat Terhadap Parpol

Kemerdekaan, mimpi yang indah dan jauh itu telah berwujud, telah menjadi nyata. Namun ia merupakan gedung besar yang kosong (Soe Hok Gie).
Ungkapan Soe Hok Gie di atas mecerminkan kondisi politik bangsa yang chaos pasca kemerdekaan. Jika ditelaah lagi, nasionalisme  justru mendapat goncangan yang kuat justru saat kemerdekaan sudah diraih. Kondisi pada masa itu digambarkan sebagai gedung kosong, dimana organsasi politik belomba-lomba mengisi negara (gedung kosong) dengan bentuk pemerintahan menurut ideologi masing-masing.  Tidak ayal hal ini memicu berbagai  gejolak sosial politik.
Diantara yang paling melekat dalam memori bangsa adalah, wacana pembentukkan negara komunis. Wacana ini sontan menimbulkan gejolak politik dan bahkan sampai merubut nyawa warga sipil dan para perwira tinggi. Belum lagi luka mendalam bagi generasi sesudahnya. Hal ini memperlihatkan betapa amat berbahanyanya nasionalisme yang dijadikan topeng dalam politik.
Pasca proklamasi, menyadari banyaknya ideologi dalam tubuh masyarakat, maka melalui maklumat 3 november 1945, pmerintah Indonesia menganjurkan utuk dibuat partai politik. Tujuan dari di bentuk parpol diantaranya adalah untuk mengarahkan ideolgi guna kepentingan berbangsa dan bernegara, serta agar mampu melanjutkan perjuangan. Beberapa parpol yang tebentuk pasca maklumat tersebut antara lain, Masyumi, PKI, PBI, PRJ, Parkindo, PSI, PKRI, PNI, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, dll. Selanjutnya. Perwakilan dari parpol-parpol ini selanjutnya akan menjadi penyalur aspirasi rakyat dalam kusi kabinet (parlementer). Namun pada kenyataannya, perwakilan parpol tersebut lebih mementingkan kepentingan golongan dan tidak lagi meperhitungkan rakyat banyak. Kabinet pun menjadi kacau, struktur cabinet sering digonta-ganti dengan berbagai sebab yang kebanyakn berupa idealis. Akhirnya banyak agenda nasional yang tidak terlaksana dan terbengkalai begitu saja.
Pada tahun 1955 Indonesia untuk pertama kalinya mengadakan pemilu legislatif. Pemilu ini dilaksanakan di bawah kabinet Ali Sastroamidjoyo 1. Adapun agendanya adalah untuk memilih  anggot DPR (29 September 1955) dan Pemilu untuk Konstituante (15 Desember 1955). Pemilu ini memenangkan PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dengan berlangsungnya pemilu ini, Indonesia telah mampu mewjudkan kepada masyarakat Internasional, bahwa Indonesia merupkan Negara demokratis dan bukan otoriter. Pada waktu itu Belanda mengembor-gemborkan bahwa  gaya pemerintahan Soekarno merupakan gaya  seorang otoriterian.
Dalam pelaksanaan pemilu pertama tersebut, rakyat Indonesia mampu menunjukkan sikap sadar poltik dan rasa nasionalisme yang tinggi dengan menyelengarakan pemilu dengan tertib dan teratur. Perlu diingat sebelum diaksankannya pemilu, rakyat Indonesia tengah kecewa dengan sikap parpol yang hanya mementingkan kepentingan sendiri, dan dirasa tidak lagi menjadi peyalur aspirasi rakyat.
Walaupun pada perkembangan-perkembangan selanjutnya, parpol-parpol yang terpilih tetap melupakan rakyat dan lebih mementingkan golongan. Beberapa dampak buruk daintaranya adalah mandeknya sistem pemerintahan , juga berakibat pada gagalnya perumusan undang-undang baru dan gagalnya penanganan krisis ekonomi di awal-awal kemerdekaan (sekitar tahun 1951[mungkin])

3. Nasionalisme Sekarang ini

Menyadari seringnya nasionalisme digembor-gemborkan dan kemudian dinodai oleh kepentingan golongan. Perlulah memang mempertanyakan mengenai arti nasionalisme, karena bahkan sampai sekarang pun – memasuki pemilu 2014, parpol terus menggemborkan semangat nasionalisme. Namun di lain sisi, nasioanalisme sangat di perlukan dalam menjalankan tambuk kursi pemerintahan, namun dengan catatan: Parpol yang telah mendapatkan kursi dalam pemerintahan harus mampu melepas kepentingan parpol. Namun kenytaaannya sayarat ini  tidak pernah bisa di taati.
Salah satu bentuk nasionalisme dengan tidak mementingakan kepentigan golongan, contohnya terefleksi dari sikap Moh. Hatta yang mengubah Pembukaan UU yang semula diambil dari isi pigam Jakarta, pada waktu itu yang dipermaslahka adalah sila pertama yang berunyi, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemelunya. Hal ini dirasa bagi sekelompak rakyat tanha air. Menurut pandangan rakyat yang non islam, poin tersebut tidak mencerminkan semangat nasionalis (terutama jika dijadikan pembukaan UUD). Maka, kemudian isi pembukaan UU itu dihapus, dan diganti dengan pembukaan UU yang dikenal sekarang ini.

Nasionalisme sendiri, berarti keseluruhan bangsa dan negara. Yang dalam ujarannya Amir Syariffuddin merdeka 100%, artinya Indonesia bukan hanya mencangkp beberapa pulau saja, namun in donesia mencangkup keselurahn bangsa Indonesia. Dalam hal ini perlu juga di tambahi ucapan Sun Yat Sen soal nasionalisme (untuk Negara Cina). Sekali waktu ia pernah berkata, bahwa warga Cina dimanapun berada tetaplah warga cina. Artinya nasionalisme tidak memandang batas geografi.
Satu lagi yang perlu ditambahkan disini, adalah ucapan dari salah satu anggota discussant, bahwa nasionaslisme sebagai ideology jangan di bawa lebay. Maksudnya agar nasionalisme ditanggapi dengan kesadaran dan agar tidak dipahami pada ranah radikal yang nantinya mengarah pada pengertian fasisme. Namun perlu juga di pahami bahwa mempertanyakan nasioanalisme, adalah mempertanyakan nasib keseluruhan rakyat. Dibutuhkan sebuah kesadaran menyeluruh untuk mengisi gedung yang kosong ini dan perlu untuk membuang “furniture” yang memang tidak dibutuhkan oleh bangsa.[]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS