1. Pengertian macam-macam HAM
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa sebagai anugerah dari tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Walau demikian, bukan berarti bahwa perwujudan hak asasi manusia dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak sendiri sampai-sampai mengabaikan hak orang lain, ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kita wajib menyadari bahwa hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasp orang lain.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.
Penegakan HAM di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui, bahwa hak asasi manusia bersifat Universal sehingga masalah ini menjadi perhatian segenap umat manusia, tanpa memperdulikan dari mana para korban atau pelaku pelanggaran HAM berasal. Dunia internasional sendiri memiliki berbagai instrumen sanksi untuk para penjahat kemanusiaan, mulai dari sanksi ringan berupa pengucilan atau pemboikotan hingga sanksi pidana melalui pengadilan internasional. Penegakkan hak asasi manusia membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
Persaingan berbagai kekuatan politik menjadi warna utama dalam kehidupan politik pada masa orde lama, persaingan tersebut meluas kesegenap kehidupan rakyat hingga memicu perseteruan diantara mereka. Haruskah persaingan politik selalu mengarah pada perseteruan.????
Kenyataan menunjukan bahwa hingga kini proses penegakan HAM di indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Tetapi, proses demokratisasi yang terjadi pasca tumbangnya kekuasaan orde baru telah memberi harapan yang besar bagi kita agar pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat ditegakkan.
Kendati demikian, diera reformasi dapat kita catat bahwa pemerintah dan lembaga legislatif telah bekerja sama menyusun perangkap perundangan yang menunjukkan upaya nyata untuk mengedepankan perlindungan tentang hak asasi manusia. Tetapi, meski iklim demokratis kini tengah tumbuh subur bukan berarti upaya penegakkan hak asasi manusia di indonesia tidak mengalami hambatan sama sekali. Kita dapat mencermati bahwa dalam lingkungan sosial kita terdapat beberapa hambatan yang bersifat structural (berkenaan dengan budaya masyarakat). Walau demikian hambatan tersebut sepatutnya tidak membuat semangat kita untuk menegakkan hak asasi manusia menjadi surut.
Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam penegakkan hak asasi manusia tersebut, mari kita upayakan sedikit demi sedikit untuk dikurangi (eliminasi), demi terwujudnya hak asasi manusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya untuk menyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara dalam sebaik-baiknya.
2. Upaya pemerintah dalam menegakan HAM
Pendekatan keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hokum.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih terjadi.
Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang. Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat memperoleh keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam
4. masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
5. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi.
3. Instrumen atau dasar hokum yang mengatur HAM
Dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), komitmen untuk memenuhi, melindungi HAM serta menghormati kebebasan pokok manusia secara universal ditegaskan secara berulang-ulang, diantaranya dalam Pasal 1 (3): ”Untuk memajukan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional dibidang ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, dan menggalakan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama …”
Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti oleh PBB melalui pembentukan instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang HAM sebagai berikut:
a. Instrumen Hukum yang Mengikat
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. DUHAM merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB, misalnya (yang terkait dengan penegakan hukum) Pasal 3, 5, 9, 10 dan 11. Pasal-pasal tersebut secara berturut-turut menetapkan hak untuk hidup; hak atas kebebasan dan keamanan diri; pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; pelarangan penangkapan sewenang-wenang; hak atas keadilan; hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah; serta pelarangan hukuman berlaku surut. Secara keseluruhan, DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai:
- Hak hidup
- Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan martabat
- Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi
- Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual
- Hak atas persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan
- Hak untuk tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005, sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi oleh Komite Hak Asasi Manusia.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam Kovenan ini adalah:
- Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
- Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
- Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide)
Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia (Kovensi Menentang Penyiksaan) mulai berlaku sejak Januari 1987. Indonesia mesahkan Konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1998. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang terdapat dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya guna:
2) mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), atau pengekstradisian seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang tersebut akan berada dalam keadaan bahaya (karena menjadi sasaran penyiksaan.
3) menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum mempunyai hak untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak
4) menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan
5) menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), yang dibentuk berdasarkan aturan yang terdapat didalamnya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
Konvensi ini mulai berlaku sejak Januari 1969 dan disah oleh Indonesia melalui UU No. 29 tahun 1999. Terdapat larangan terhadap segala bentuk diskriminasi rasial dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi ini juga menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul dan suku bangsa. Konvensi ini juga membentuk Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi pelaksanaannya.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
Kovensi ini mulai berlaku sejak September 1981 dan dirafikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 tahun 1984. Sejak pemberlakuannya, konvensi ini telah menjadi instrumen internasional yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil. Konvensi ini mensyaratkan agar negara melakukan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan HAM dan kebebasan dasar berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengatur mengenai pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Konvensi Hak Anak mulai berlaku sejak September 1990 dan disahkan oleh Indonesia melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Konvensi ini negara harus menghormati dan menjamin hak bagi setiap anak tanpa diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain. Negara juga harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan bahwa anak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang disampaikan, atau kepercayaan orang tua anak, walinya yang sah, atau anggota keluarganya. Konvensi ini juga membentuk Komite Hak Anak (CRC) untuk mengawasi pelaksanaan isi Konvensi.
Konvensi Mengenai Status Pengungsi (Convention relating to the Status of Refugees )
Konvesi ini mulai berlaku sejak April 1954. Indonesia belum mesahkan Konvensi ini walaupun menghadapi banyak masalah pengungsi. Pengungsi dibedakan dengan istilah “internaly displaced person” atau pengungsi yang berpindah daerah dalam satu negara. Pengungsi dalam konvensi ini didefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan negaranya karena takut disiksa atas alasan ras, agama, kebangsaan, opini politik atau keanggotaan pada kelompok tertentu, tidak bisa atau tidak mau pulang karena ketakutan. Kovensi Pengungsi menentukan empat prinsip HAM dalam menangani pengungsi, yaitu: persamaan hak, tidak adanya pengasingan terhadap hak-hak mereka, universalitas dari hak-hak mereka, serta hak untuk mencari dan mendapatkan suaka dari penghukuman.
b. Instrumen Hukum yang Tidak Mengikat
Pedoman Berperilaku bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials)
Majelis Umum PBB pada tahun 1979 mengeluarkan resolusi 34/169 tentang Pedoman Pelaksanaan Bagi Penegak Hukum. Pedoman ini memberikan arahan bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Terdapat delapan pasal yang mengatur mengenai tanggung jawab penegak hukum yaitu, perlindungan HAM, penggunaan kekerasan, penanganan terhadap informasi rahasia, pelarangan penyiksaan-perlakuan-penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, perlindungan kesehatan tahanan, pemberantasan korupsi, serta penghargaan terhadap hukum dan undang-undang.
Prinsip-Prinsip Dasar Mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials)
Prinsip-prinsip ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1990, menekankan bahwa penggunaan kekerasan dan senjata api hanya dapat dilakukan jika diperlukan serta sesuai dengan tugas pokok maupun fungsi yang diatur oleh peraturan perundangan.
Deklarasi Mengenai Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1992. Di dalamnya terdapat 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai pencegahan tindakan penahanan tanpa tujuan yang jelas atau sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini mensyaratkan adanya langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, maupun langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah dan menghapuskan tindakan penghilangan paksa.
Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women)
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967 telah mengadopsi Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria, serta menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaannya. Deklarasi ini menjadi dasar dalam penyusunan rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Deklarasi Mengenai Pembela HAM (Declaration on Human Rights Defender)
Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Deklarasi Pembela HAM memberikan perlindungan bagi para pembela HAM dalam melakukan kegiatan mereka. Deklarasi ini tidak membentuk hak-hak baru tetapi lebih pada memberikan panduan bagi para pembela HAM terkait dengan pekerjaan mereka. Digarisbawahi tugas-tugas negara dalam pemenuhan HAM, serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh para pembela HAM, disamping juga menjelaskan hubungan antara HAM dan hukum nasional suatu negara. Ditegaskan agar para pembela HAM melakukan aktivitasnya dengan cara-cara damai.
Prinsip-prinsip tentang Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir (Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions )
Prinsip-prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Hukuman Mati yang Tidak Sah, Sewenang-sewenang dan Sumir merupakan prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan Mei 2003. Prinsip-prinsip ini memberikan panduan bagi penegak hukum dalam mengadili para pelaku tindak pidana. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya pengawasan (termasuk kejelasan dalam rantai komando) terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Prinsip-prinsip ini juga mejelaskan secara rinci mengenai jaminan terhadap pemenuhan hak untuk hidup.
Pengawasan terhadap Pemenuhan HAM
Pengawasan HAM dibagi dua, yaitu pengawasan di tingkat nasional dan tingkat internasional. Di tingkat nasional, pengawasan dilakukan antara lain oleh:
Lembaga pemerintah termasuk Polisi
• Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Anak
• Lembaga Swadaya Masyarakat
• Pengadilan
• Dewan Perwakilan Rakyat
• Media Masa
• Organisasi Profesi seperti IDI dan Peradi
• Organisasi Keagamaan
• Pusat Kajian di Universitas.
• Adapun pengawasan di tingkat internasional atau PBB didasarkan pada perjanjian internasional mengenai HAM
4. Peranan masyarakat dalam menegakan HAM
Setiap orang bertanggung jawab untuk terlibat dalam penegakan HAM. Walaupun secara formal tanggung jawab negara lebih besar, tetapi peran masyarakat luas sebenarnya dampak yang sangat besar bagi terbangunnya kesadarang untuk menghormati HAM. Tentu saja tanggung jawab itu harus di awali dengan pemahaman akan pentingnya hak asasi manusia. Tetapi orang harus memahami bahwa HAM seorang perlu mendapat perlindungan demi martabatnya sebagai manusia. Jika seorang memahami konsep sedasar ini , maka akan semakin mudah menyebarluaskan tanggungjawab masing-masingindividu untuk turut aktif dalam penegakan upaya HAM. sikap positif dalam penegakan HAM dapat di mulaikan dari lingkungan keluarga, warga sekitar tempat tinggal, sekolah dan masyarakat luas. Di lingkungan masyarakat luas, sikap positip terhadap penegakan HAM dapat di lakukan antara ain sebagai berikut:
1. Tidak mengganggu ketertiban umum
2. Saling menjaga dan melingungi harkat dan mertabat manusia
3. menghormati keberadaan sendiri
4. Berkomunikas dengan baik dan sopan
5. Turut maembantu terselenggaranya masyarakat madani, yakni hidup berdampingan secara damai, sayang menyayangi tanpa membedakan ras, keturunan dan pandanan politiknya, serta kelompok besar tidak memaksakan kehendaknya kepada kelompok kecil dan sebaliknya kelompok kecil menghormati kelompok besar.
Setiap kita adalah pejuang hak asasi manusia. penegakan hak asasi manusia dapat kita mulai di lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Misalnya, jika kita berusaha untuk memahami bahwa saudara kita yang perempuan mempunyai hak yang setara dengan saudara laki-laki untuk mendapat pendidikan, maka kita sebenarnya telah memulai suatu langkah kecil untuk menghormati hak asasi manusia. Tetapi langkah kecil tersebut, jika dilakukan oleh semua orang akanmenjadi langkah besar. Yang penting dalam hal ini adalah bahwa setiap orang menaati hak asasi sesamanya. Maka, apa pun bentuk langkah yang di ambil oleh seorang untuk menunjukan penghormatan kepada HAM. Kita sebagai warga indonesia wajib mendukung adanya upaya penegakan HAM yang di lakukan oleh lembaga-lembaga perlindungan HAM. Adapun dukungan tersebut dapat di tunjukan antara lain dengan dikap berikut:
1. Menghormati menghargai lembaga perlindungan HAM
2. Mendengar dan melaksanakan materi penyuluhan hukum dan HAM
3. Aktif men sosialikan hukum dan HAM
4. Menghargai kaum hak-hak perempuan
5. Membantu terwujudnya perlindungan hak-hak anak
Pemajuan, Penghormatan dan Penegakan HAM
7:10 PM |
Labels:
Wacana Dan Diskusi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment